Komodifikasi Konten “Go Global” dan Peran Influencer di #ParisFashionWeek

Foto: Istimewa/Shuttetstock.

Marketing.co.id – Berita Marketing | Ramai polemik Paris Fashion Week berawal dari sebuah unggahan di Insta Story seorang selebriti yang bertanya, mengapa perlu membawa rombongan penonton Indonesia ke acara “Paris Fashion Week”?

Tak kurang dari brand kosmetik MS Glow, brand parfum HMNS dan ayam Geprek Bensu membawa serombongan selebritidari Indonesia, antara lain Anya Geraldine, Ariel Noah, Adipati Dolken dan Sarwendah.

Nama-nama ini tentu bukan “penonton biasa”, mereka memiliki sejumlah follower yang besar. Apa yang mereka unggah di media sosial mereka memiliki kekuatan untuk memobilisasi pengikutnya. Mereka adalah influencer.

Mereka yang disebut influencer, selain memiliki follower yang fantastis (Anya Geraldine memiliki 10 juta lebih followers), juga mampu melakukan engagement yang tinggi dengan pengikutnya (likes dan comment). Dengan tingginya perhatian yang didapat, tidak heran jika influencer marketing menjadi strategi yang saat ini digunakan oleh hampir semua brand dan perusahaan.

Menurut sebuah studi yang diungkap dalam buku “Influencer Marketing: Building Brand Communities and Engagement” (disunting oleh Sevil Yesiloglu, Joyce Costello) unggahan para influencer ini lebih banyak mendapat perhatian ketika menggabungkan konten online dan offline.

Warganet juga cenderung mengikuti akun influencer yang memiliki penampilan fisik yang menarik atau kemampuan yang unik. Menurut survei yang dilakukan Crimson Agency, 74% responden mengikuti sebuah akun karena mereka mengenal orang tersebut, baik secara langsung maupun karena faktor orang tersebut memang terkenal.

Warganet menganggap influencer lebih otentik dan generik. Walaupun warganet mengikuti sebuah akun brand di media sosial, namun tetap terasa ada ‘jarak’. Sehingga ketika warganet melihat iklan dari sebuah brand mereka tetap merasa iklan tersebut ‘jualan banget’ dan akhirnya beralih lebih mempercayai influencer.

Maka, tak heran jika terjadi simbiosis mutualisme antara brand – influencer – warganet dimana brand membutuhkan influencer untuk mencapai reach dan engagement yang lebih luas. Melalui influencer,  brand bisa membangun hubungan yang lebih dekat dengan  warganet yang menjadi target marketnya.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Twitter dan perusahaan analitik Annalect menyatakan 56% responden mempercayai rekomendasi dari teman dan 49% responden mempercayai influencerBrand rela membayar mahal influencer yang dianggap mampu memengaruhi decision buying para pengikutnya.

Lalu, bagaimana cara brand memastikan investasi mereka tidak sia-sia?  

Vincent Mosco, seorang Profesor Emeritus Sosiologi di Universitas Queen, dalam bukunya berjudul The Political Economy of Communication, mengatakan komodifikasi adalah pemanfaatan barang dan jasa yang dilihat dari kegunaannya kemudian ditransformasikan menjadi komoditi yang bernilai jual pasar. Salah satu jenis komodifikasi adalah komodifikasi konten.

Narasi ‘go global’ menjadi salah satu bentuk komodifikasi konten yang dilakukan oleh brand. Dalam konteks narasi Paris Fashion Week, brand membuat berbagai aktivitas di Paris untuk merepresentasikan ‘produk lokal mendunia’ sebagai bahan konten para influencer yang diundangnya. Citra positif sebagai brand yang sudah pernah bekerja sama dengan desainer mancanegara di Paris Fashion Week yang bergengsi diharapkan mampu mengangkat nilai brand sehingga menjadi added value bagi perusahaan.

Influencer marketing adalah salah satu strategi marketing yang efektif dan relevan di era digital 4.0. Selain mengenali perilaku konsumen sebagai dasar untuk merencanakan strategi, hal penting lain yang harus diingat adalah pengecekan fakta dan informasi penting.

Strategi marketing para brand di Paris Fashion Week berbalik menjadi kabar buruk dan mencoreng citra mereka, karena mereka mengabaikan satu hal penting. Tujuan brand untuk mencapai status ‘mendunia’ mungkin tidak akan gagal jika sebelumnya mereka melakukan riset mendalam tentang Paris Fashion Week.

Artikel ini dikirim dan ditulis oleh Ilham Akbar Afandi, Dosen dan Pengamat Media Sosial, Head of Strategy di Crimson Agency.

Author avatar
crimson_admin
http://crimson.agency
We use cookies to give you the best experience.